Sejarah

Situasi Pendidikan Islam di Jawa pada permulaan abad ke-20 boleh dibilang cukup marak, Madrasah dan Pesantren muncul susul menyusul.
Pada tahun 1899 berdiri pondok pesantren Tebuireng di Jombang (Jatim) oleh K.H. Hasyim Asy’ari, sedang madrasahnya yang formal berdiri pada tahun 1919 bernama Salafiyah yang diasuh oleh K.H. Ilyas (Mantan Menteri Agama RI). Madrasah ini memberikan pengetahuan agama dan pengetahuan umum. Hal ini kemudian diikuti dengan berdirinya pesantren dan madrasah di daerah lain.
Di Kudus berdiri Madrasah Aliyah, Sanawiyah Muawanatul Muslimin pada tahun 1915 oleh Syarikat Islam. Berikutnya berdiri Madrasah Qudsiyah pada tahun 1918 oleh K.H.R. Asnawi, Madrasah Tasywiqut Thullab pada tahun 1928 oleh K.H. Khaliq. Sepuluh tahun kemudian pada tahun 1938 berdiri Madrasah Ma’ahidul Diniyah.
Pada sekitar tahun 1930-an di Kabupaten Kudus sudah berdiri Madrasah Al-Arabiyyah Assalafiyah yang terletak di Dukuh Kauman Wetan Desa Demaan Kecamatan Kota Kudus atau tepatnya di belakang Masjid Agung Alun-Alun Simpang Tujuh. Madrasah ini dipimpin oleh Sayyid Zain bin Abdullah Alkaf, kelahiran Saudi Arabia. Sementara itu di kampung Tepasan Desa Demangan Kecamatan Kota Kudus juga berdiri Al-Madrasatus Sa’adah yang dipimpin oleh K.H. Sofwan Durri.
Oleh karena tujuan dan sistem pendidikannya sama dan demi menempuh di masa depan yang lebih baik, maka tepat pada tanggal 6 Juni 1938 bergabunglah kedua madrasah tersebut menjadi Al-Madrasah Darul Islam (di-tulis dengan huruf Arab dan Bahasa Arab) atau Al-Islam School (ditulis dengan Bahasa Belanda tulisan Latin). Madrasah inilah yang terus berkembang hingga sekarang dengan nama Yayasan Perguruan Al-Islam.
Prinsip pendidikan Al-Islam School ini adalah mengajarkan Islam dengan tujuan mendidik dan mengajarkan kepada putra-putri Islam berupa agama Islam menurut Faham Ahlussunnah wal Jamaah, mengajarkan Bahasa Arab, Bahasa Indonesia, Bahasa Daerah, dan Bahasa Belanda. Hal ini dimaksudkan agar kelak para muridnya menjadi muslim muslimat yang berguna bagi agama, masyarakat, nusa dan bangsa. Jenjang pendidikannya dari tingkat Awaliyah (Taman Kanak-kanak), Ibtidaiyyah (Sekolah Dasar), Tsanawiyah (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama), dan Aliyyah (Sekolah Menengah Umum).
Proses belajar mengajar bagi siswa putra dilakukan di sebuah gedung milik “Raja Kretek” M. Nitisemito yang terletak di sebelah barat Kali Gelis berdekatan dengan rumah tempat tinggal M. Nitisemito sendiri. Sedang proses belajar mengajar bagi siswa putri dilakukan di gedung yang lain, yang disewa atas tanggungan seorang donator H. Ali Asikin, Direktur Pabrik Rokok cap “Djangkar”.
Susunan pengurus dan Majelis Guru saat mencerminkan adanya penggabungan dengan maksud agar segala langkah geraknnya serasi, yaiu: Ketua dan Kepala Majelis Sayyid Zain bin Abdullah Alkaf. Sekretaris Abdurrachman Sa’id dan Muhammad Marwi. Bendahara K.H. Sofwan Durri, H.Nasucha dan R. Resi Hidajat. Anggota pengurus lainnya adalah para guru dari Madrasah Al-Arabiyyah Salafiyyah dan Madrasatus Sa’adah al. Abdurrachman Sa’id, Muhammad Marwi, Jufri Edris, Juminah, Alawiyah, Margono, K.H. Sofwan Durri, Anifah.
Tercatat sebagai donator tetap yang setiap saat siap memberikan bantuan dana adalah M. Nitisemito, H. M. Ali Asikin, M. Sidik, H.M. Noor Chamid, H. Abdul Kadir, H.A. Zuhri dan H. Moezahid.
Tekad para pengurus pada waktu itu yang ingin segera meraih kemajuan, terkadang belum bisa diterima alam pikiran masyarakat Kudus pada waktu itu. Terhadap segala kegiatan yang oleh banyak pihak dirasakan sebagai “radikal”, seperti para pemuda memakai celana, giat dalam pemanduan, laki-laki dan perempuan belajar dalam satu ruangan kelas dan lain sebagainya. Menyebabkan munculnya berbagai protes dari berbagai pihak khususnya dari orang-orang tua. Makin lama tekanan itu semakin kuat sehingga pada tahun 1940 dua tokoh pendiri Al-Islam masing-masing K.H. Sofwan Durri dan Zaid bin Abdullah Alkaf menyatakan keluar dari Al-Islam School. Kedua tokoh ini merasa tidak tahan mendengar “serangan” yang semakin gencar itu terhadap berbagai kegiatannya.
Payahnya, dengan mundurnya dua tokoh tersebut ternyata para donatur ikut juga menjauhi Al-Islam School, meskipun sebenarnya dalam hati mereka menyetujui gerakan tersebut. Akibatnya, gedung sekolah yang selama itu di pakai belajar terpaksa diminta kembali oleh M. Nitisemito, sedang donatur yang semula menanggung sewa gedung yang dipakai belajar siswa putri tidak mau lagi menanggung sewanya.
Guna melanjukan proses belajar mengajar terpaksa Al-Islam menyewa sendiri gedung yang lebih kecil dan selalu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Pada tahun 1940 itu pula pimpinan dialih oleh Abdurrachman Sa’id di bantu oleh guru-guru al. Muhammad Marwi, Sjamboedi, Abdullah ALkaf, Hamid Hadi dan Chayatun. Mereka ini memiliki cita-cita dan pikiran bahwa suatu saat akan datang suatu masa yang bisa membawa perubahan jalan pikiran umat islam Indonesia, tidak terkacuali umat islam di Kudus.
Ternyata makin lama tekanan semakin keras. Mula-mula jumlah murid dan gurunya menyusut drastis sehingga tinggal beberapa orang saja. Para penyandang dana atau donatur juga menyusut karena takut mendapat tantangan dari sebagian masyarakat. Jika masih ada yang mau memberikan donatur, hal itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Akibatnya honorarium guru menjadi tidak menentu. Beberapa orang yang tidak sepaham yang semula hanya berbisik-bisik saat itu menjadi berani terang-terangan.
Betapapun hal ini menjadikan gundah di kalangan pengurus. Setelah dilakukan diskusi, akhirnya ditempuh jalan pintas, para murid dan pelajar Al-Islam yang sudah cukup dewasa dan dipandang mampu menjadi guru terpaksa diminta ikut mengajar sampai pukul 11.00. Setelah itu mereka sendiri belajar hingga pukul 13.00. Perayaan hari-hari belajar Belanda dengan tegas ditiadakan. Lagu-lagu keagamaan dan lagu-lagu nasional diwajibkan dengan menggunakan Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia. Bendera Belanda tidak boleh dikibarkan di dalam maupun di luar lingkungan sekolah. Sedang tembang-tembang Jawa yang semula tabu untuk didendangkan, kini dinyanyikan dalam Bahasa Arab dan Indonesia.
Ketika pecah perang Asia Timur Raya pada tanggal 8 Desember 1940 sekolah atau madrasah yang mengajarkan huruf dan Bahasa Indonesia diganti dengan huruf dan Bahasa Jepang diwajibkan Taisho serta menghormati dan membungkuk ke arah Istana Tenno Haika. Adanya kewajiban tersebut menimbulkan Al-Islam mengubah pelajaran agama dan umum dengan Bahasa Arab.
Pada awal tahun 1944 M, perlawanan para pemuda kita terhadap Jepang semakin tajam. Mereka menggunakan gedung Al-Islam yang bertempat di jalan Masjid no. 35 disamping kanan Kabupaten Kudus sebagai lokasi untuk mengatur siasat perang melawan Jepang. Akhirnya pemuda-pemuda Kudus berhasil merebut markas kekuasaan Jepang, yang kemudian markas tersebut berada di jalan Pungkuran 181 digunakan sebagai gedung Al-Islam sampai sekarang.
Dua tahun kemudian yaitu pada tahun 1947 Al-Islam membuka sekolah kejuruan berupa Sekolah Guru Al-Islam (SGAI). Proses belajar mengajarnya masih menumpang di salah satu ruangan SD Negeri Demaan di bawah penilaian Bapak Soediran. Kepala SGAI adalah Abdurrachman Sa’id sendiri, sedang Majelis Guru terdiri Abdurrachman Sa’id (mengajar Agama dan Bahasa Arab), dr. Loekmono Hadi (mengajar Ilmu Hayat), R. Soemarsono (mengajar Ilmu Pasti), R. Soedarno (mengajar Bahasa Indonesia), R. Karim (mengajar Ilmu Jiwa), Rachmat (mengajar Ilmu Jiwa). Sedang bertindak sebagai pelindung adalah dr. R. Ramelan. Namun SGAI ini hanya bertahan sekitar empat tahun, karena situasi dan kondisi pada waktu itu tidak mendukung pengembangannya.
Selanjutnya berdasarkan keputusan rapat pengurus, pada tanggal 2 Februari 1958 Al-Islam dijadikan Yayasan Perguruan Al-Islam dengan Akte Notaris K. Gondodiwirjo Nomor : 1/1-2-1958, tepatnya hari Selasa tanggal 4 Februari 1958. Selanjutnya dimuat dalam berita Negara No. 74 tanggal 23 September 1958.
Pada awal tahun 2007 atas tuntutan masyarakat terhadap lembaga pendidikan Islam yang bermutu, maka Pengurus Yayasan Perguruan Al-Islam Kudus memandang perlu mengadakan perubahan progam pendidikan dari SMP Al-Islam Kudus menjadi SMP Islam Terpadu (SMPIT) Al-Islam Kudus, sedangkan izin operasional SMPIT Al-Islam Kudus di bawah hukum SMP Al-Islam Kudus yang telah terakreditasi A, pada bulan Desember 2005 dengan Nomor Data Sekolah (NDS) C10012001, Nomor Statistik Sekolah (NSS) 204031902018, dan NSP 20317562.
SMPIT Al-Islam Kudus yang semula berlokasi di jalan Veteran No. 8 Kudus, kini menempati gedung baru berlantai 3 yang dari gedung lama yaitu di jalan Veteran Gang Utama, Glantengan Kudus terhitung mulai tahun pelajaran 2007/2008, dengan luas tanah ± 718 M². Dengan sertifikat hak milik No. 514 tertanggal 18 Oktober 1993. SMPIT Al-Islam Kudus kini dipimpin oleh Ibu Fika Indriyani, S.Pd.